
Bagian kortex yang tinggal dalam tempurung kepalaku seperti meletup-letup ketika menelusuri jejak halaman demi halaman petualangan pencarian jati diri dan cinta. Letupan-letupan itu pecah dan tidak lagi mengikuti irama "blub!" tapi "wow!" Pada awalnya, Edensor aku kira sebuah mimpi yang hanya bisa mengusir kekosongan, kerinduan dan kehampaan Andrea Hirata (the author of Edensor) yang terjebak dalam mimpi dan khayalannya. Ternyata, Edensor adalah nyata, surga yang menjelma nyata terhampar di bumi, bisa dirasa oleh smua indra. Bahkan Andrea pun tidak pernah menyangka petualangan pencarian jati dirinya akan berakhir pada menjelmanya Edensor.
Khayalan tentang Edensor "Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak, berselang seling di antara jerejak anggur yang ditelantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffodil dan asturia tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna oranye, mendayu-dayu karena belaian angin. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas."
Edensor adalah suatu desa kecil nan damai. Andrea membangunnya lewat imajinasi dalam ruang khusus di kepalanya. Kemudian ia menyimpan ruh Edensor ke dalam hatinya. Kemanapun ia pergi, Edensor adalah mimpi yang wajib dibawa. Karena dari mimpilah semuanya berawal. Maka bermimpilah, dan Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.
"Hidup dan nasib bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun tiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta yang tak terbantahkan." (intepreted of Harun Yahya).
Hmm.. Pemikiran yang agung! Aku tidak bisa membantah pernyataan itu, tapi untuk menyerapnya ke dalam hati terasa sangat sulit. Proses osmosis terjadi sangat lambat. Bahkan untuk mencerna kata-katanya saja harus dikunyah berkali-kali dulu baru bisa ditelan dan dicerna. Memang terkesan LOLA (loadingnya lama ;-) tapi bagiku wajar karena pemikiran ini pasti terlahir dari kristalisasi kejeniusan pemikiran yang agung. Sehingga untuk dicerna oleh orang awam sepertiku, hmm.. orang yang masih mengambang jadi plankton, belum mencium tanah dan menghadap langit, terasa sangat alot! Fahamkan aku.. Aku hanya makhluk yang belajar mencintai hidup dari orang yang membenci hidupnya. Kujadikan langit dan bumi bagai kitab yang terbentang. Aku hanya ingin hidup dan ingin merasakan sari pati hidup! (thanx, Andrea).
Yap! Petualangan dilanjutkan sampai ke Prancis, negri impianku. Aku senang dengan bahasa mereka dan bunyi-bunyi sengau dari barisan kata-katanya sangat unik. Entah apakah karena hidung mereka terlalu bengkok atau terlalu banyak terkena udara dingin? Yang pasti suara sengau ala Prancis mempesona tidak ada tandingnya! Aku suka salah satu lirik lagu Anggun C. Sasmi dalam balutan bahasa Prancis berjudul (La Niege au Sahara = Snow on The Sahara)
Si la poussiere emporte tes reves de lumiere
Je serai ta lune, tor re pere
Et si le soleil nous brule
Je prierai qui tu voudras
Pour que tombe la neigi au Sahara..
Meski aku tidak bisa menyanyikan lagu ini tapi aku suka artinya:
Jika harapanmu hancur berkeping-keping,
Aku akan menjadi bulan yang menerangi jalanmu.
Matahari bisa membutakan matamu.
Aku akan berdoa pada langit.
Agar salju berderai di Sahara.
Salju dan Sahara adalah suatu "irreconciable differences" (perbedaan yang tidak bisa didamaikan). Hanya dalam doa mereka bersatu.
Ya Tuhan.. Tak kusangka aku telah membangun Edensorku sendiri sebelum aku menemukan buku Andrea tentang Edensor. Aku tidak tahu bagaimana bermimpi, memberi ruh pada mimpi sehingga mimpiku terasa hidup. Aku tidak tahu bagaimana berdiri tegak di atas mimpiku. Tapi aku tahu, aku punya Edensor-ku. Aku tinggal memberinya sedikit warna dan meletakkannya di tiap rongga kosong di tubuhku.
No comments:
Post a Comment